Iman itu dibenarkan oleh hati, diucapkan oleh lisan,
diwujudkan dengan perbuatan. Sering orang salah kaprah bahwa hati adalah
perasaan, tapi hati disini adalah akal. Seorang suami yang mencintai istrinya, cintanya
itu harus diucapkan. Jika ada orang yang mencintai tapi tidak diucapkan,
berarti dia ragu dengan cintanya. Harus mantap. Harus diucapkan.
Jika ada orang yang hatinya tidak sesuai dengan ucapannya
berarti munafik, begitu juga sebaliknya. Harus lurus antara hati, ucapan dan
perbuatan. Makanya doa kita setiap hari di dalam sholat “ihdinash shiraathal
mustaqiim”-- tunjukkanlah kami jalan yang lurus--.
Mengapa ada orang yang tidak konsisten antara apa yang
dikatakan dengan apa yang dilakukan? Karena jika dia jujur, akan terjadi
ketidaknyamanan pada dirinya, walaupun dia tahu bahwa sekali berbohong maka
akan memunculkan kebohongan-kebohongan yang lain. Ada tidak orang yang berfikir
:
“Ngapain kita kerja keras? Toh gaji kita sama aja. Yang lain
yang kerjanya biasa-biasa gajinya juga sama.”
“Apa sih untungnya buat saya kalau saya bekerja lebih keras?
Toh hasilnya sama aja..”
Percayalah, Allah Maha Melihat. Mungkin teman kerja kita,
atasan kita, mereka tidak melihat kerja keras kita. Percayalah, dengan
kekonsistenan kita, mungkin suatu saat kita tidak akan cocok lagi dengan
lingkungan kerja yang biasa-biasa saja, karena kerja-kerja kita sudah diatas
rata-rata. Akhirnya kita pantas utuk bekerja di tempat yang lebih baik, yang
lebih sesuai dengan kemampuan kita. Begitu seterusnya.
Ada ilustrasi 2 bejana, yang satu kapasitas 100ml, satunya
200ml. Keduanya diisi dengan air yang sama banyak, masing-masing 90ml. Apa yang
kita katakan untuk mengilustrasikan kedua bejan itu? Yang satu hampir penuh,
dan yang kedua setengah kurang. Kenapa? Kan sama-sama 90ml? Kenapa dikatakan
beda? Ya. Kapasitas bejananya beda.
Ini juga yang terjadi pada kita. Kapasitas kita yang sudah
diploma, sarjana, jangan hanya diisi dengan setengah kurang. Begitu juga dalam
berislam, jangan berislam yang hanya sholat dan puasa saja. Kita bisa belajar
dan mengamalkan lebih banyak, yang lebih dari hanya sekedar sholat dan puasa.
Sayang. Karena sebenarnya kita mampu.
Sesuai firman Allah dalam QS. At Taghabun : 16 yang artinya : “..bertaqwalah kepada Allah
sesuai kemampuanmu.”
Tertulis dengan jelas disana bahwa sesuai kemampuanmu, bukan kemauanmu. Karena banyak orang-orang
cerdas yang tidak mau ikut pengajian dengan alasan:
“nanti saya tahu banyak”
Bukannya biar tahu?
“Kalo saya salah kan
posisinya saya ga tahu, jadi tidak apa-apa.”
Jika kita kembali kepada fitrah manusia, sebenarnya fitrah
kita adalah pemimpin. Minimal memimpin diri sendiri. Sesuai sabda Rasulullah:
“Setiap kalian adalah
pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya, seorang
imam adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya dan
seorang laki-laki adalah pemimpin dlm keluarga dan akan dimintai tanggungjawab
atas kepemimpinannya, dan wanita adalah penanggung jawab terhadap rumah
suaminya dan akan dimintai tanggungjawabnya serta pembantu adalah
penanggungjawab atas harta benda majikannya dan akan dimintai
pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.”(Muttafaqun ‘alaihi)
Allah menyebutkan dalam QS. Al Isra : 36,
“Dan
janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta
pertanggungan jawabnya.”
Dalam ilmu kepemimpinan, leadership
adalah tentang 3 hal :
1. Responsibility
Seorang pemimpin harus
pandai merespon, harus peka, harus care, tidak cuek.
Responsibility yang
berarti tanggung jawab,
Tanggung à
beban, apakah dengan beban ini akan menguatkan kita, atau justru akan
melemahkan kita.
Jawab à
kita mampu mengkomunikasikan kenapa saya begini, kenapa saya melakukan ini,
kenapa saya memilih itu, dan sebagainya.
2. Methodology
Kita sekolah pake
kurikulum ga?
Orang tua mendidik
kita pake kurikulum ga?
Bagaimana dengan
proses pengembangan diri kita? Ini harus dibuatkan kurikulumnya.
3. Reference
Seorang pemimpin
idealnya memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Karena berIslam juga harus
dengan ilmu, bukan karena sreg atau tidak sreg.
Hal ini (leadership) oleh Imam Ghazali
disebut dengan mas’uliyah. Keduanya memiliki arti yang sama.
Tertulis di QS. Al ‘Ashr : 1 – 3
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada
dalam kerugian, kecuali orang yang beriman dan orang-orang yang yang
mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan
nasehat dan menasehati supaya menetapi kesabaran.”
Waktu terbagi atas past, present, dan future. Yang oleh Imam
Ghozali dikatakan bahwa “Tempat yang paling jauh adalah masa lalu, karena tak
ada satu pun kendaraan yang mampu mencapainya. Sedangkan tempat yang paling
dekat adalah masa depan, karena dia akan datang dengan sendirinya”. Tapi
sayangnya kebanyakan orang masih sering meratapi masa lalunya. Sibuk berkutat
dan terjebak dalam kenangan masa lalunya. Realized. We can’t get back to the
past. Hal ini juga akan mempengaruhi cara kita membangun hubungan dengan orang
lain. Jadi, ikhlaskan masa lalu kita, jadikan pelajaran, jangan galau dan
tergoda oleh kenangan masa lalu. Syukuri hidup kita saat ini, dan persiapkan
untuk masa depan. Karena tak ada yang dapat diharapkan dari masa lalu. Harapan
hanya ada di masa depan.
By ust. Fadli Reza Noor
Counselor
08112541400
No comments:
Post a Comment