Saturday, November 23, 2013

Kata ustadz..

Iman itu dibenarkan oleh hati, diucapkan oleh lisan, diwujudkan dengan perbuatan. Sering orang salah kaprah bahwa hati adalah perasaan, tapi hati disini adalah akal.  Seorang suami yang mencintai istrinya, cintanya itu harus diucapkan. Jika ada orang yang mencintai tapi tidak diucapkan, berarti dia ragu dengan cintanya. Harus mantap. Harus diucapkan.

Jika ada orang yang hatinya tidak sesuai dengan ucapannya berarti munafik, begitu juga sebaliknya. Harus lurus antara hati, ucapan dan perbuatan. Makanya doa kita setiap hari di dalam sholat “ihdinash shiraathal mustaqiim”-- tunjukkanlah kami jalan yang lurus--.

Mengapa ada orang yang tidak konsisten antara apa yang dikatakan dengan apa yang dilakukan? Karena jika dia jujur, akan terjadi ketidaknyamanan pada dirinya, walaupun dia tahu bahwa sekali berbohong maka akan memunculkan kebohongan-kebohongan yang lain. Ada tidak orang yang berfikir :

“Ngapain kita kerja keras? Toh gaji kita sama aja. Yang lain yang kerjanya biasa-biasa gajinya juga sama.”
“Apa sih untungnya buat saya kalau saya bekerja lebih keras? Toh hasilnya sama aja..”

Percayalah, Allah Maha Melihat. Mungkin teman kerja kita, atasan kita, mereka tidak melihat kerja keras kita. Percayalah, dengan kekonsistenan kita, mungkin suatu saat kita tidak akan cocok lagi dengan lingkungan kerja yang biasa-biasa saja, karena kerja-kerja kita sudah diatas rata-rata. Akhirnya kita pantas utuk bekerja di tempat yang lebih baik, yang lebih sesuai dengan kemampuan kita. Begitu seterusnya.

Ada ilustrasi 2 bejana, yang satu kapasitas 100ml, satunya 200ml. Keduanya diisi dengan air yang sama banyak, masing-masing 90ml. Apa yang kita katakan untuk mengilustrasikan kedua bejan itu? Yang satu hampir penuh, dan yang kedua setengah kurang. Kenapa? Kan sama-sama 90ml? Kenapa dikatakan beda? Ya. Kapasitas bejananya beda.

Ini juga yang terjadi pada kita. Kapasitas kita yang sudah diploma, sarjana, jangan hanya diisi dengan setengah kurang. Begitu juga dalam berislam, jangan berislam yang hanya sholat dan puasa saja. Kita bisa belajar dan mengamalkan lebih banyak, yang lebih dari hanya sekedar sholat dan puasa. Sayang. Karena sebenarnya kita mampu.

Sesuai firman Allah dalam QS. At Taghabun : 16  yang artinya : “..bertaqwalah kepada Allah sesuai kemampuanmu.”

Tertulis dengan jelas disana bahwa sesuai kemampuanmu,  bukan kemauanmu. Karena banyak orang-orang cerdas yang tidak mau ikut pengajian dengan alasan:

“nanti saya tahu banyak”
Bukannya biar tahu?
 “Kalo saya salah kan posisinya saya ga tahu, jadi tidak apa-apa.”

Jika kita kembali kepada fitrah manusia, sebenarnya fitrah kita adalah pemimpin. Minimal memimpin diri sendiri. Sesuai sabda Rasulullah:
Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya, seorang imam adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya dan seorang laki-laki adalah pemimpin dlm keluarga dan akan dimintai tanggungjawab atas kepemimpinannya, dan wanita adalah penanggung jawab terhadap rumah suaminya dan akan dimintai tanggungjawabnya serta pembantu adalah penanggungjawab atas harta benda majikannya dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.”(Muttafaqun ‘alaihi)

Allah menyebutkan dalam  QS. Al Isra : 36,
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.

Dalam ilmu kepemimpinan, leadership adalah tentang 3 hal :
1.      Responsibility
Seorang pemimpin harus pandai merespon, harus peka, harus care, tidak cuek.
Responsibility yang berarti tanggung jawab,
Tanggung à beban, apakah dengan beban ini akan menguatkan kita, atau justru akan melemahkan kita.
Jawab à kita mampu mengkomunikasikan kenapa saya begini, kenapa saya melakukan ini, kenapa saya memilih itu, dan sebagainya.
2.      Methodology
Kita sekolah pake kurikulum ga?
Orang tua mendidik kita pake kurikulum ga?
Bagaimana dengan proses pengembangan diri kita? Ini harus dibuatkan kurikulumnya.
3.      Reference
Seorang pemimpin idealnya memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Karena berIslam juga harus dengan ilmu, bukan karena sreg atau tidak sreg.

Hal ini (leadership) oleh Imam Ghazali disebut dengan mas’uliyah. Keduanya memiliki arti yang sama.
Tertulis di QS. Al ‘Ashr : 1 – 3
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang yang beriman dan orang-orang yang yang mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat dan menasehati supaya menetapi kesabaran.”

Waktu terbagi atas past, present, dan future. Yang oleh Imam Ghozali dikatakan bahwa “Tempat yang paling jauh adalah masa lalu, karena tak ada satu pun kendaraan yang mampu mencapainya. Sedangkan tempat yang paling dekat adalah masa depan, karena dia akan datang dengan sendirinya”. Tapi sayangnya kebanyakan orang masih sering meratapi masa lalunya. Sibuk berkutat dan terjebak dalam kenangan masa lalunya. Realized. We can’t get back to the past. Hal ini juga akan mempengaruhi cara kita membangun hubungan dengan orang lain. Jadi, ikhlaskan masa lalu kita, jadikan pelajaran, jangan galau dan tergoda oleh kenangan masa lalu. Syukuri hidup kita saat ini, dan persiapkan untuk masa depan. Karena tak ada yang dapat diharapkan dari masa lalu. Harapan hanya ada di masa depan.

By ust. Fadli Reza Noor
Counselor
08112541400






No comments:

Post a Comment