Akhir tahun 2013, tepatnya hari Sabtu tanggal
28 Desember 2013 jam 18.30, tiga orang gadis tersesat di jalan berbukit di tengah hutan. Walaupun hutan
lindung dan letaknya masih terhitung dekat dengan perkampungan warga, tapi
suasana mencekam khas hutan terasa sangat kentara. Sunyi. Dingin. Suara
jangkrik terdengar begitu jelas. Angin berhembus pelan. Sesekali terdengar
suara kendaraan bermotor di kejauhan, semakin mendekat,
melewati kami tanpa
bertegur sapa dan akhirnya kembali menjauh. Suasana kembali sunyi. Dalam
keadaan seperti ini aku selalu memikirkan hal-hal menakutkan, khas film horor *aku
termasuk salah satu orang yang dengan senang hati menjadi korban kebrutalan
persuasi iklan, sinetron, dan film*. Kami sangat bersyukur karena tepat diatas
dua motor kami berhenti, ada seonggok lampu jalan yang sinarnya menyinari duniaaa *maaf nyasar ke ayat
lain.. eh emang lagi muroja’ah hafalan?*. Beberapa menit kemudian, kami masih
duduk mematung diatas motor kami, berusaha menghubungi 911. Bukan. Menghubungi
orang yang berjanji akan menjemput kami. Setiap kali terdengar suara kendaraan
bermotor dari kejauhan, kami selalu berharap bahwa itulah orang yang akan
menjemput kami. Tapi setiap kali harapan itu menguap ke tutup periuk, menjadi
embun, dan terjatuh kembali menjadi harapan *sekalian mengulang pelajaran IPA*.
Setelah menunggu lumayan tidak lama, datang
sebuah motor Vixion merah beserta pengemudinya *syukurlah itu bukan Ghost
Rider*. Legaa rasanya karena kami segera dipandu untuk menuju ke lokasi acara.
Ya acara Jambore Mahasiswa Muslim yang diadakan adek-adek angkatan. Seperti
biasa kami diundang sebagai sosok yang diseniorkan oleh mereka. Berharap mereka
akan merasa tenang karena ada yang bisa dimintai pertimbangan dan melerai jika
sampai terjadi perkelahian sampai cakar-cakaran *maklum nyamuk di hutan kan
biasanya banyak*.
Sabtu malam sebelum isya kami sampai ke lokasi
yang dimaksud. Aku sudah pernah ke tempat ini sebelumnya, tapi maklum ya, kan
women can’t read map kata Allan dan Barbara Pease *Fix. Alibi semata..!*.
Sampai disana kami langsung sholat maghrib dilanjut isya. Alhamdulillah masih
keburu maghribnya. Terus dengan
semena-mena makan hasil masakan adek-adek yang sudah dengan segenap jiwa raga
mencurahkan keahlian masaknya, mendedikasikannya untuk para peserta, dan tak
lupa senior mereka tercinta. * :D narsis kronis..*
Malam itu.. *tsah!* ada penyampaian materi
selepas isya, bobok, dan ada renungan malam untuk putri. Jadi kami dibangunin
gitu sekitar jam 01.00 dini hari, renungan, evaluasi diri selama setahun silam,
motivasi untuk harus lebih baik di tahun mendatang, ya gitu. Dilanjutkan sholat
malam dan sholat shubuh berjama’ah. Nah untuk putra, mereka ada jurik malam,
jadi mereka bangun sekitar 00.30, terus diuji mental dan aqidahnya, lari-lari,
ditakut-takuti, pokoknya menguji fisik dan mental deh..
Paginya , di hari Ahad yang cerah, kami
jalan-jalan menyusuri bukit menuju ke sebuah waduk dekat situ, namanya Waduk
Sermo. Jaraknya sekitar 20-30 menit jalan kaki. Dan enaknya jalan disini sudah
beraspal, jadi aman dilewati walaupun berbukit dan kadang turun. Kami berangkat
jam 05.00 pagi, tapi sudah lumayan terang dan menenangkan untuk kami,
serombongan akhwat. Udara bersih sangat terasa disini, kendaraan bermotor juga
hanya satu dua yang lewat. Waduk Sermo masih terlelap, permukaannya masih
mengeluarkan semacam uap tertimpa sinar matahari pagi. Tapi yang paling OWESOME
adalah... tebing yang membendung si waduk. Tinggi bangeeeeet. Kira-kira
setinggi gedung bertingkat 5 lantai. DAAAAN kami harus menuruninya. Kebayang ga
sih?? Disana ada tangga, tapi cuma separo jalan, abis itu kami harus turun
tebing dengan kemiringan sekitar 600 itu tanpa alat bantu apapun.
Apapun. Hanya mengandalkan insting dan positive thinking kepada Allah SWT.
Disana hanya ada batu, sejauh mata memandang yang ada hanyalah batu. Batu yang
jika kita salah menginjak, dia bisa tergelincir dan mengenai teman di bawah
kita. Bisa dibayangkan?? Tidak ada P3K, apalagi mobil ambulance. Nyaliku ciut. Tapi
berkat teman-teman yang dengan sengaja merendahkan harga diriku sebagai akhwat
“pethakilan”, kubesarkan hatiku, kuyakinkan diriku bahwa tidak akan terjadi
apa-apa. Walhasil, aku sampai dibawah dengan selamat pemirsah! Satu saat kita memang harus direndahkan
untuk bisa menguatkan diri dan membuktikan pada dunia BAHWA kita bisa. *sok
bijak loe..!*
Legaaaa rasanya bisa
sampai bawah dengan kondisi badan masih utuh *loe pikiir?!*, tapi beneran
jantung seakan ketinggalan satu step diatas dan langsung balik setelah sampai
di bawah. After that, kami melanjutkan perjalanan pulang yang menanjak. Dengan
semangat fifty-fifty antara ingin segera sampai atau berhenti untuk istirahat
ditempat dan sedikit mengeringkan keringat. Tapi akhirnya kami putuskan untuk
terus berjalan, gontai tapi pasti. Akhirnya kami sampai di tempat kami
berangkat tadi. Duduk. Napas kembang kempis. Tapi senyum tetap tersungging
*ceileeeh..*. Lanjut bersih-bersih, biar seger lagi untuk ke agenda
selanjutnya. Selesai bersih-bersih ada yang aneh. Ternyata adek-adek peserta
tak ada satupun yang membersihkan diri. Katanya masih ada agenda
berkotor-kotoran jadi mereka baru akan mandi setelahnya.
Sarapan pagi itu kami
disuguhi sebongkah singkong yang direbus dengan gula merah, hmmmmm yummi..
Enak. Khas sajian pedesaan. Perut sudah terisi, saatnya beraksi ke agenda
selanjutnya. Game dengan beberapa pos. Ternyata hanya ada 3 pos.Diawali dengan
pos—namanya apa ya?—pokoknya ada jaring laba-laba buatan dari rafia, dimana setiap
item peserta harus melewati space yang berbeda. Jadi kalau sudah dilalui
anggota yang lain, tidak boleh dilalui lagi. Jika anggotanya banyak, acara
panjat-memanjatpun harus dilakukan demi melalui space yang berlainan. Lanjut ke
pos 2. Setelah semua peserta meninggalkan pos jaring laba-laba, aku dan seorang
teman berinisiatif untuk menyusul, dengan jarak yang agak jauh dengan peserta,
dengan hanya mengandalkan pesan dari panitia bahwa “ikuti rafia biru yang dipasang
di pepohonan atau apapun”, kami berjalan dengan penuh kepercayaan diri sembari
ngobrol ngalor ngidul. Ah, itu dia rafia biru, diikatkan di batang pohon kayu
putih. Ternyata batang pohon kayu putih, kulit bagian luarnya yang sudah agak
mengering sangat mudah dikelupas dan empuk, semacam gabus tipis berlapis-lapis *ceritanya
latar game kami ini adalah hutan kayu putih yang sesekali bisa ditemukan ladang
singkong, berumpun-rumpun bambu, semak setinggi pinggang, beberapa pohon jati,
dan tentunya nyamuk—yang terakhir ini paling bikin keki—*. Lanjut perjalanan,
masih setia ngobrol, dapat lagi rafia biru, dipasang membentuk pita di semak di
persimpangan jalan setapak. Karena jalan ke arah kanan sepertinya tidak mungkin
*atas dasar berbagai pertimbangan absurd yang kami berdua sepakati*, maka kami
putuskan untuk mengambil jalan ke kiri. Kami terus berjalan, belum menemukan
lagi rafia biru, masih ngobrol dengan penuh kepercayaan diri. Terus berjalan,
tanpa tanda-tanda rafia biru, agak bimbang. Kami berjalan lebih jauh lagi,
masih ngobrol dan sedikit tertawa kecil agak besar *eh? Maksudnya? Sudahlah..*,
melewati ladang kecil milik petani, dengan jalan semakin sempit dan tidak ada
tanda-tanda kehidupan, ada firasat nyasar. Tapi perjalanan tetap kami
lanjutkan, berharap rafia biru akan muncul secara random, dari arah yang tak
disangka-sangka. AAAAAAAAAAAA TIDAAAAAK!! Ternyata kami sampai di bibir jurang.
Fix. Kami nyasar. Putar baliiiiik!! Kami yang kali ini tanpa kepercayaan diri lagi
—dengan bangga—membodoh-bodohkan diri sendiri kembali ke jalan awal. Berusaha mencari
rafia biru yang benar. Karena ternyata ada banyak sekali rafia, kertas, tulisan,
dan ntahlah, banyak sekali tanda yang dipasang di daerah ini. Masih dengan harapan
bahwa rafia biru akan muncul secara random, tapi kali ini kami lebih banyak
menggunakan akal sehat. Daaan TARAAAAA!! Kami menemukannya. Ternyata jalannya
bukan ke arah bawah seperti yang kami tempuh tadi, tapi ke arah atas. Jalan dengan
rafia biru bertengger dikanan kiri kami. Dengan kepercayaan diri yang kembali
penuh, kami melangkah menuju pos selanjutnya. Singkat cerita game selesai.
Selesai game, makan
siang, kali ini dengan porsi luar biasa banyak yang tidak sanggup dihabiskan. Sayang
sekali karena terpaksa harus membuang sisa makan siang. Selanjutnya kami
membersihkan tempat untuk segera menutup acara dan pulang. Acara ditutup dengan
upacara ala jambore. Kami bertiga sebagai undangan berinisiatif untuk
membariskan diri diantara peserta. Selesai upacara penutupan, saatnya
pulaaaang.. Tak lama berselang, truk penjemput datang. Panitia segera dengan
cekatan memuat barang-barang bawaan kedalamnya. Panitia dan peserta putri
dibawa serta didalam truk, sedangkan pantia putra pulang dengan motor, termasuk
kami bertiga dan seorang panitia putri lainnya. Jalanan sudah tidak terlalu
macet, sehingga kami dengan lancarnya pulang.
Akhir tahun yang
berkesan. Semoga lebih baik lagi di tahun 2014 untuk kita semua.. aamiin.
Maaf ceritanya agak absurd..
Update lg mb,
ReplyDeletetidak begitu absurb, kurang rapi sj...
tempat beberapa punggawa jg di http://blogs.jashtis.org/
gambarnya mana kakaa???
ReplyDeleteWah, ada satu adegan haru yang terlewatkan... dan baru tau belakangan ini. hehe
ReplyDelete