Saturday, November 23, 2013

Be your self, but carefully



Be your self, yes or no? And how?

Orang sering memberi saran “just be yourself! Udah deh jadi diri sendiri aja..!”, kedengarannya gampang. Emang gimana sih caranya jadi diri sendiri? Emang bisa ya jadi diri sendiri tapi merugikan orang lain? Seperti apa menjadi diri sendiri yang sebaiknya dilakukan? Orang kadang salah kaprah, karena tidak mau beradaptasi dengan orang lain, lalu beralasan “kan saya cuma be my self.”

Nah jadi sekarang gimana jadi diri sendiri tapi “adaptable”.

Menjadi diri sendiri menurut Alexander Sriwijono adalah seberapa kita berjarak dengan diri sendiri, seberapa kita memiliki jarak dengan diri kita dan yang dipahami orang lain, karena jarak itu yang paling membuat kita tidak nyaman.  Contoh kita pengen banget menyampaikan sesuatu, tapi kita tidak bisa menyampaikan sesuatu itu, jadi ganjelan kan? Atau sebaliknya, kita menyampaikansesuatu dengan tujuan A, B, C, D tapi dipersepsikannya berbeda. Kita mulai mempertanyakan. Tunggu. Ini saya sebenernya siapa, niatan saya gimana, di dalam konteks kerjasama seperti apa, dan yang paling sering terjadi sebelum kita bicara karir adalah masalah dirumah antara ibu dan anak.

Ibu sangat ingin mengatur semua kebutuhan anaknya, tapi kemudian anaknya bilang, “Mama, mama kapan pergi lagi training?” “Kenapa nak, suka ya kalo dibawain kue-kue dari hotel?” “Engga, soalnya kalo dirumah ga ada mama damai”. Jadi ini ibu pengennya intens, tapi malah jadi gangguan, ini sangat mempengaruhi jati dirinya sebagai ibu juga. Ini miris sekali. Atau sebaliknya rasa sayang yang dimiliki orangtua kepada anaknya tiba-tiba disalahpersepsikan. Ada seorang ibu yang betul-betul fully dedicate hidupnya untuk menjadi full time mom—bahwa ini ditunjang juga dengan kemampuan ekonomi—, begitu anaknya sudah lebih besar, usia SMP, anaknya bilang “Life is so easy for you”, karena dia membandingkan dengan ibu teman-temannya. Bisa dibilang bahwa anaknya tidak respect kepada ibunya karena hanya menjadi full time mom. Terus ibunya terdiam dan mengatakan “Bukankah yang mama lakukan ini untuk kebaikanmu? ” terus anaknya bilang “ Tapi mama lebih keren kalo punya karir”. Itu juga jati diri antara dia melihat dirinya menjadi ibu yang sebaik-baiknya, tiba-tiba dipersepsikan berbeda oleh anaknya. Itu ga bisa urusannya cuma sakit hati, berhenti. Titik. Tetapi bagaimana kemudian dia mengekspresikan dirinya, perannya, agar bisa merasa lebih nyaman, dan juga tentunya kita kan ga hidup sendiri, agar juga nyaman untuk sekitar.  

Di pekerjaan sama pula. Jadi saat melihat ke kaca, kita nyaman dengan diri sendiri, sosok kita sama seperti yang kita lihat. Itu adalah jati diri yang sebenarnya. Kalo kita masih merasa ada bagian-bagian tertentu yang kita tidak nyaman, apa yang harus dilakukan? Kadang keplesetnya kita melihat dan menuduh cermin yang  salah, “Mirror mirror on the wall, siapa yang paling cantik di dunia ini?” Cerminnya bilang  ”Bukan kamu”  Tapi dia tetep bilang “Saya kan?”. Atau sebenarnya yang ingin kamu lihat adalah orang yang kamu ingin jadikan dirimu seperti itu, tapi sebenarnya kamu tidak pernah diterima di lingkungan itu.

Ada yang bilang “acting kan capek”, iya memang karena ada jarak dengan diri sendiri, “ini buka saya.”. proses untuk lebih pake topeng, proses untuk berusaha konsisten dengan apa yang kita bilang bukan diri kita, itu sangat capek. Sehingga kalo kita bilang jangan pake topeng, jangan acting, tetapi bagaimana supaya tidak acting ini juga tidak salah. Karena jadi diri sendiri di tempat kerja bisa jadi salah. Jati diri adalah terkait dengan otentisitas, aslinya kita seperti apa, bisa menjadi otentik kalo kita sadar diri bahwa kita itu siapa. Sementara banyak orang tidak sadar dirinya itu siapa. Jadi tantangan terberat, yang orang sering kepleset, karena yang dia anggap dirinya tersebut itu tidak sebenarnya demikian. Dia merasa bahwa dia keren, padahal tidak sebegitu kerennya. Dia merasa pintar tapi kemudian banyak orang yang bilang “Katanya pinter, tapi kok gini ya..”. Sementara yang dia ekspresikan adalah,  “Gini ya, dengan cara gini saya bisa melihat gini gini gini..”. Apa yang dia katakan dan yang orang lihat berbeda, tidak konsisten. Jadi yang diyakini berbeda dengan yang sebenarnya. 

Nah sekarang gimana caranya jadi diri sendiri tapi tidak merugikan orang lain?

Jadi kita memang harus sering-sering introspeksi diri. Kalo seorang hidup sendirian, antara dia dan kamarnya, dengan pohon, ya monggo terserah mau ngapain aja. Tetapi ketika kita bicara bahwa dia ga hidup sendirian, dan konteks hidup juga beda-beda, ada di rumah, di kantor, di pertemanannya. Jadi kalo ada orang yang selalu shouting bahwa dirinya adalah..bla..bla..bla.. Ya konsekuensinya terima sendiri. Konsekuensi bahwa orang lebih tidak nyaman denga kejatidiriannya yang lebih diteriakkan tanpa berusaha diadaptasikan pada lingkungan.
Misalkan ada orang yang gaul banget, mulutnya ga pake ayakan, kalo dirumah apakah—bukannya terus jadi sariawan atau tidak— kalo didepan anaknya dia suka teriak, “babi loe!!” . Nadanya juara deh pokoknya. Trus suatu saat pas lagi pergi bareng-bareng, ada yang nangis, anaknya bertengkar dengan kakaknya terus adeknya bilang “babi loe!!”. Anak kecil yang tampangnya malaikat bilangnya gitu. Terus pas lagi ngopi bareng, anaknya udah ga ada dia bilang “Gue ga pernah ngajarin anak gue bilang gitu.” “Iya loe ga mungkin lah ngajarin anak loe yang kayak gitu, tapi masalahnya gimana si anak bisa ngomong gitu dengan intonasi persis seperti loe?”. Antara orang mencontoh dengan orang ngajarin itu berbeda. Kalo ngajari, kita bilang ke anak kita “Anak-anak dengar ya, bapak mau melatih kalian. Coba: ba—bi—loe , ayuk intonasinya salah, ayo lebih keras.. lebih keras... Itu ngajarin. Tapi kalo anak mencontoh sendiri, itu lain perkara lagi. Jadi bukan berarti kalo dirumah kita ga boleh se-ekspresif di lingkungan pertemanan kita, tapi bahwa jati diri kita dirumah adalah ditambah dengan predikat sebagai ayah, predikat sebagai ibu. 

Jadi secara singkat, jati diri juga punya sisi sisinya. Sisi mana yang saya bilang saya nyaman dengan situasi seperti ini, yang nyaman buat saya dan ga nyaman buat orang lain. Masak dalam sebuah jamuan formal kita cuwawakan? Ga mungkin kan? Jadi pandai-pandai menempatkan diri, gimana kalo di rumah, di kantor, di pertemanan, tapi bukan berarti bunglon.

Orang keren, orang positif tidak meng-campaign-kan bahwa dirinya keren, tapi kalo untuk diri pribadi itu perlu untuk mengukur seberapa positifkah saya? Karena bahkan setiap detik setiap menit, setiap jam orang bisa berubah. Saat ini kita positif, tapi di saat yang berbedakalo orang bilang “boiling pointnya” kena, kita berubah jadi negatif. Jadi pertanyaannya gini, dalam situasi tadi saya ga nyaman banget, apa yang bikin saya ga nyaman ya?  Kok saya bisa senegatif itu ya? Jadi istilah “saya orang positif” bukan statemen yang permanen sifatnya.
Ada orang yang disebut bumblers, jadi bisa klop di lingkungan tertentu, di organisasi tertentu. Misal seseorang sudah lama sekali tinggal di Amerika, terus suatu ketika harus pindah ke Jepang, seberapa jauh dia bilang “Saya memang begini, di kantor saya yang lama ini ga masalah sama sekali”. Seberapa jauh dia harus menyesuaikan bahwa “Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya”.

Sehingga kita harus pikir dulu, apakah ini pas? Ini pas ga ya? Dan setiap orang punya spektrumnya masing-masing. Orang yang ekstrovert, bukan berarti dia cablak all the time. Dia bisa juga lebih mendengar dan dia bilang ini tetep diri saya. Orang yang introvert bukan berarti dia ga bisa ngomong sama sekali, sehingga di titik tertentu dengan perannya, dia juga harus ngomong. Misal seorang leader, dia tidak hanya mengatakan gaya saya adalah, tapi dia juga harus melihat gaya timnya, dan leaderlah yang harus bisa mengakomodir gaya yang ada. Karena leader yang harusnya lebih berperan dalam situasi seperti ini.

Ngomong tentang jati diri, sampai sejauh mana sih kita harus menghargai jati diri orang lain? Setiap orang punya alasan dan pemikirannya masing-masing ketika menerima atau menolak sesuatu, bahkan anak-anak. Jadi kita harus tahu kapan bisa masuk, kapan tidak, termasuk seberapa jauh kita mengekspresikan diri kita dan seberapa jauh kita meminta orang lain mengekspesikan dirinya ke kita. Proses menarik batas dan mengenali batas ini yang harus dicari sama-sama. Seringkali kita bilang batasnya disini, tapi orang lain bilang enggak, batasnya bukan disitu tapi disini. Dan itulah yang harus kita perhatikan, karena batasannya bisa sangat abstrak. Sehingga kita tahu apa yang nyaman untuk kita, apa yang nyaman untuk orang lain. Kalo kita bicara tentang jati diri orang lain, kembali kepada hal yang sangat basic bahwa antara orang dengan orang bukan bicara saling makan. Yang seru adalah ketika kita sampai pada unsur expectation atau demand. Kalo sama teman kita seringnya bilang “Udahlah, orangnya memang gitu”. Tapi kalo kepada anak, kita ga bisa bilang “Udahlah anaknya emang gitu”, karena kita punya tanggung jawab sebagai orangtua. Jadi sejauh mana kita bisa membantunya, ini dalam konteks kerja. Tapi kalo sudah pada konteks pribadi, ini yang harus kita tarik garis, seberapa jauh kita 
menghargai jati dirinya sebagai pribadi tetapi seberapa jauh jati diri pribadi ini memberikan impact di pekerjaan. 

Kesimpulannya, kalo diwakili dengan satu kata, kata apa yang menggambarkan diri kita, apakah diri kita? Lalu pertanyakan konsistensinya dengan what i am, what i do and the result. Kalo kita katanya adalah itu, apakah konsistensi tindakannya terjadi dan apa impactnya sesuai dengan yang kita inginkan tersebut?  

Jadi jati diri adalah dimulai dari kesadaran diri, siapa kita? Apa yang kita lakukan? Bagaimana konsistensi kita? Dan apakah impactnya sudah sesuai dengan apa yang kita inginkan?

Sumber : www.dailymeaning.com

No comments:

Post a Comment