Be your self, yes or no? And how?
Orang sering memberi saran “just be
yourself! Udah deh jadi diri sendiri aja..!”, kedengarannya gampang. Emang
gimana sih caranya jadi diri sendiri? Emang bisa ya jadi diri sendiri tapi merugikan
orang lain? Seperti apa menjadi diri sendiri yang sebaiknya dilakukan? Orang
kadang salah kaprah, karena tidak mau beradaptasi dengan orang lain, lalu
beralasan “kan saya cuma be my self.”
Menjadi diri sendiri menurut Alexander
Sriwijono adalah seberapa kita berjarak dengan diri sendiri, seberapa kita
memiliki jarak dengan diri kita dan yang dipahami orang lain, karena jarak itu
yang paling membuat kita tidak nyaman.
Contoh kita pengen banget menyampaikan sesuatu, tapi kita tidak bisa menyampaikan
sesuatu itu, jadi ganjelan kan? Atau sebaliknya, kita menyampaikansesuatu
dengan tujuan A, B, C, D tapi dipersepsikannya berbeda. Kita mulai mempertanyakan. Tunggu. Ini saya
sebenernya siapa, niatan saya gimana, di dalam konteks kerjasama seperti apa,
dan yang paling sering terjadi sebelum kita bicara karir adalah masalah dirumah
antara ibu dan anak.
Ibu
sangat ingin mengatur semua kebutuhan anaknya, tapi kemudian anaknya bilang,
“Mama, mama
kapan pergi lagi training?” “Kenapa nak, suka ya kalo dibawain kue-kue dari hotel?” “Engga, soalnya kalo
dirumah ga ada mama damai”. Jadi ini ibu pengennya
intens, tapi malah jadi gangguan, ini sangat mempengaruhi jati dirinya sebagai
ibu juga. Ini miris sekali. Atau sebaliknya rasa sayang yang dimiliki orangtua
kepada anaknya tiba-tiba disalahpersepsikan. Ada seorang ibu yang betul-betul fully dedicate hidupnya untuk menjadi full time
mom—bahwa ini ditunjang juga dengan kemampuan ekonomi—, begitu anaknya sudah
lebih besar, usia SMP, anaknya bilang “Life is so easy for you”, karena dia membandingkan dengan
ibu teman-temannya. Bisa dibilang bahwa anaknya tidak respect kepada ibunya karena hanya
menjadi full time mom. Terus ibunya terdiam dan mengatakan “Bukankah yang mama
lakukan ini untuk kebaikanmu? ” terus anaknya bilang “ Tapi mama lebih keren kalo punya
karir”. Itu juga jati diri antara dia melihat dirinya menjadi ibu yang
sebaik-baiknya, tiba-tiba dipersepsikan berbeda oleh anaknya. Itu ga bisa
urusannya cuma sakit hati, berhenti.
Titik. Tetapi bagaimana kemudian dia mengekspresikan dirinya, perannya, agar bisa merasa lebih
nyaman, dan juga tentunya kita kan ga hidup sendiri, agar juga nyaman untuk sekitar.
Di pekerjaan sama pula. Jadi saat melihat
ke kaca, kita nyaman dengan diri sendiri, sosok kita sama seperti yang kita
lihat. Itu
adalah jati diri yang sebenarnya. Kalo kita masih merasa ada bagian-bagian
tertentu yang kita tidak nyaman, apa yang harus dilakukan? Kadang keplesetnya
kita melihat dan menuduh cermin yang
salah, “Mirror mirror on the wall, siapa yang paling cantik di dunia
ini?” Cerminnya bilang ”Bukan kamu” Tapi dia tetep bilang “Saya kan?”. Atau
sebenarnya yang ingin kamu lihat adalah orang yang kamu ingin jadikan dirimu
seperti itu, tapi sebenarnya kamu tidak pernah diterima di lingkungan itu.
Ada yang bilang “acting kan capek”, iya
memang karena ada jarak dengan diri sendiri, “ini buka saya.”. proses untuk
lebih pake topeng, proses untuk berusaha konsisten dengan apa yang kita bilang
bukan diri kita, itu sangat capek. Sehingga kalo kita bilang jangan pake
topeng, jangan acting, tetapi bagaimana supaya tidak acting ini juga tidak
salah. Karena
jadi diri sendiri di tempat kerja bisa jadi salah. Jati diri adalah terkait
dengan otentisitas, aslinya kita seperti apa, bisa menjadi otentik kalo kita
sadar diri bahwa kita itu siapa. Sementara banyak orang tidak sadar dirinya itu
siapa. Jadi tantangan terberat, yang orang sering kepleset, karena yang dia
anggap dirinya tersebut itu tidak sebenarnya demikian. Dia merasa bahwa dia
keren, padahal tidak sebegitu kerennya. Dia merasa pintar tapi kemudian banyak
orang yang bilang “Katanya pinter, tapi kok gini ya..”. Sementara yang dia
ekspresikan adalah, “Gini ya, dengan
cara gini saya bisa melihat gini gini gini..”. Apa yang dia katakan dan yang orang
lihat berbeda,
tidak konsisten. Jadi yang diyakini berbeda dengan yang sebenarnya.
Nah sekarang gimana caranya jadi diri
sendiri tapi tidak merugikan orang lain?
Jadi kita memang harus sering-sering
introspeksi diri. Kalo seorang hidup sendirian, antara dia dan kamarnya, dengan
pohon, ya
monggo terserah mau ngapain aja. Tetapi ketika kita bicara bahwa dia ga hidup
sendirian, dan konteks hidup juga beda-beda, ada di rumah, di kantor, di
pertemanannya. Jadi kalo ada orang yang selalu shouting bahwa dirinya adalah..bla..bla..bla.. Ya konsekuensinya
terima sendiri. Konsekuensi bahwa orang lebih tidak nyaman denga
kejatidiriannya yang lebih diteriakkan tanpa berusaha diadaptasikan pada lingkungan.
Misalkan ada orang yang gaul banget,
mulutnya ga pake ayakan, kalo dirumah apakah—bukannya terus jadi sariawan atau tidak—
kalo didepan anaknya dia suka teriak, “babi loe!!” . Nadanya juara deh
pokoknya. Trus suatu saat pas lagi pergi bareng-bareng, ada yang nangis,
anaknya bertengkar dengan kakaknya terus adeknya bilang “babi loe!!”. Anak
kecil yang tampangnya malaikat bilangnya gitu. Terus pas lagi ngopi bareng, anaknya udah ga ada dia
bilang “Gue ga pernah ngajarin anak gue bilang gitu.” “Iya loe ga mungkin lah
ngajarin anak loe yang kayak gitu, tapi masalahnya gimana si anak bisa ngomong gitu
dengan intonasi persis seperti loe?”. Antara orang mencontoh dengan orang ngajarin itu berbeda. Kalo
ngajari, kita bilang ke anak kita “Anak-anak dengar ya, bapak mau melatih
kalian. Coba: ba—bi—loe , ayuk intonasinya salah, ayo lebih keras.. lebih keras..”. Itu ngajarin. Tapi kalo
anak mencontoh sendiri, itu lain perkara lagi. Jadi bukan berarti kalo dirumah kita ga
boleh se-ekspresif
di lingkungan pertemanan kita, tapi bahwa jati diri kita dirumah adalah
ditambah dengan predikat sebagai ayah, predikat sebagai ibu.
Jadi secara singkat, jati diri juga punya
sisi sisinya. Sisi mana yang saya bilang saya nyaman dengan situasi seperti
ini, yang nyaman buat saya dan ga nyaman buat orang lain. Masak dalam sebuah
jamuan formal kita cuwawakan? Ga mungkin kan? Jadi pandai-pandai menempatkan
diri, gimana kalo di rumah, di kantor, di pertemanan, tapi bukan berarti
bunglon.
Orang keren, orang positif tidak meng-campaign-kan bahwa dirinya keren, tapi
kalo untuk diri pribadi itu perlu untuk mengukur seberapa positifkah saya?
Karena bahkan setiap detik setiap menit, setiap jam orang bisa berubah. Saat
ini kita positif, tapi di saat yang berbeda—kalo orang bilang “boiling pointnya” kena—, kita berubah jadi
negatif. Jadi pertanyaannya gini, dalam situasi tadi saya ga nyaman banget, apa
yang bikin saya ga nyaman ya? Kok saya
bisa senegatif itu ya? Jadi istilah “saya orang positif” bukan statemen yang
permanen sifatnya.
Ada orang yang disebut bumblers, jadi bisa klop di lingkungan tertentu, di organisasi tertentu. Misal seseorang
sudah lama sekali tinggal di Amerika, terus suatu ketika harus pindah ke Jepang, seberapa jauh
dia bilang “Saya memang begini, di kantor saya yang lama ini ga masalah sama
sekali”.
Seberapa jauh
dia harus menyesuaikan bahwa “Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya”.
Sehingga kita harus pikir dulu, apakah ini
pas? Ini pas ga ya? Dan setiap orang punya spektrumnya masing-masing. Orang
yang ekstrovert, bukan berarti dia cablak all the time. Dia bisa juga lebih
mendengar dan dia bilang ini tetep diri saya. Orang yang introvert bukan berarti dia ga bisa ngomong sama sekali, sehingga
di titik tertentu dengan perannya, dia juga harus ngomong. Misal seorang leader, dia tidak hanya mengatakan gaya
saya adalah, tapi dia juga harus melihat gaya timnya, dan leaderlah yang harus
bisa mengakomodir gaya yang ada. Karena leader yang harusnya lebih berperan
dalam situasi seperti ini.
Ngomong tentang jati diri, sampai sejauh
mana sih kita harus menghargai jati diri orang lain? Setiap orang punya alasan
dan pemikirannya masing-masing ketika menerima atau menolak sesuatu, bahkan
anak-anak. Jadi kita harus tahu kapan bisa masuk, kapan tidak, termasuk
seberapa jauh kita mengekspresikan diri kita dan seberapa jauh kita meminta
orang lain mengekspesikan dirinya ke kita. Proses menarik batas dan mengenali
batas ini yang harus dicari sama-sama. Seringkali kita bilang batasnya disini,
tapi orang lain bilang enggak, batasnya bukan disitu tapi disini. Dan itulah
yang harus kita perhatikan, karena batasannya bisa sangat abstrak. Sehingga kita tahu apa yang nyaman
untuk kita, apa yang nyaman untuk orang lain. Kalo kita bicara tentang jati
diri orang lain, kembali kepada hal yang sangat basic bahwa antara orang dengan orang bukan bicara saling makan.
Yang seru adalah ketika kita sampai pada unsur expectation atau demand. Kalo sama
teman kita seringnya bilang “Udahlah, orangnya memang gitu”. Tapi kalo kepada
anak, kita ga
bisa bilang “Udahlah anaknya emang gitu”, karena kita punya tanggung jawab
sebagai orangtua. Jadi sejauh mana kita bisa membantunya, ini dalam konteks
kerja. Tapi kalo sudah pada konteks pribadi, ini yang harus kita tarik garis,
seberapa jauh kita
menghargai jati dirinya sebagai pribadi tetapi seberapa jauh
jati diri pribadi ini memberikan impact
di pekerjaan.
Kesimpulannya, kalo diwakili dengan satu
kata, kata apa yang menggambarkan diri kita, apakah diri kita? Lalu pertanyakan
konsistensinya dengan what i am, what i
do and the result. Kalo kita katanya adalah itu, apakah konsistensi
tindakannya terjadi dan apa impactnya sesuai dengan yang kita inginkan
tersebut?
Jadi jati diri adalah
dimulai dari kesadaran diri, siapa kita? Apa yang kita lakukan? Bagaimana konsistensi
kita? Dan apakah impactnya sudah sesuai dengan apa yang kita inginkan?
Sumber :
www.dailymeaning.com
No comments:
Post a Comment