Pulang ke kampung halaman selalu menjadi hal
yang dinanti-nanti oleh semua perantau. Masakan rumahan yang khas, aroma
kekeluargaan yang menentramkan, kerinduan yang membuncah yang walaupun perasaan
itu akan menguap begitu saja setelah kita sampai di rumah. Itu pula yang saya
rasakan kemarin lusa. Kesempatan untuk pulang tidak saya lewatkan begitu saja,
walaupun diperkirakan hanya akan berada di rumah sekitar 18 sampai 20 jam.
Tidak genap sehari semalam. Semua itu tak menyurutkan langkah untuk
bersilaturrahim kepada orangtua, saudara dan tetangga.
Sampai di rumah, ada saja hal yang berbeda
dari kepulangan sebelumnya. Dari mulai teman-teman yang kebanyakan sudah
menikah, beberapa akan segera melangsungkan pernikahan, beberapa anaknya sudah
mulai besar, beberapa masih galau, dan beberapa juga terkesan tidak peduli—saya
termasuk di dalamnya—. Orang tua yang sudah mulai menampakkan tanda-tanda
penuaan, garis wajah yang semakin teduh, yang seolah mengatakan “kau sudah
besar Nak, kalianlah harapan kami..”.
Agenda menengok orangtua memang sudah
seharusnya dijadikan agenda rutin. Harus disempatkan. Tidak boleh diabaikan.
Jangan hanya karena sudah mampu membelikan ini itu, mentransfer sejumlah uang
kepada mereka, lalu kita berhak mengabaikan mereka dan hanya menengok jikalau
sempat saja. Yang entah berapa tahun sekali baru sempat. Orangtua akan merasa
senang luar biasa jika anak-anaknya yang dari jauh pulang, hanya untuk melihat
keadaan mereka, sekedar untuk bermanis manja group, ya, sekedar untuk mencicipi
masakan rumah. Walaupun tanpa membawa tentengan, atau hanya buah tangan
sekedarnya. Oleh-oleh sehat saja sudah cukup membuat mereka bahagia.
Terdengar terlalu tulus memang. Tapi begitulah
adanya. Itulah ketulusan mereka. Sampai selevel itu. Ibu saya selalu memasak semua
menu yang saya suka tiap kali saya pulang. Semuanya. Dari mulai appetizer, main
course, dessert, semuanya.
Walaupun saya hanya memakan semuatnya perut, tapi yang beliau masak banyak
sekali. Jangan heran, karena ini adalah ekspresi kebahagiaan seorang ibu ketika
menyambut kepulangan anaknya.
Walaupun dengan segala
kepayahan, dengan tangan yang sudah mulai gemetar ketika memegang pisau atau
ulekan, para ibu akan mencurahkan segala kasih sayangnya melalui apapun yan
bisa mereka sajikan untuk anak-anak tercinta. Mungkin dengan hasil ulekan yang
sudah tidak terlalu halus, dengan rasa masakan yang sudah tidak lagi sama
dengan yang biasa dimasaknya dulu karena beberapa bumbu yang sudah tidak
diingatnya lagi atau takaran yang sudah tidak pas. Tapi semua itu sungguh
ungkapan kasih sayang yang tiada ternilai, yang hanya bisa kita hargai dengan
bakti dan doa kita kepada mereka.
Jogja-Denpasar, 11
Februari 2014
ow ow ow... cocwiiit... tp emang gitu sih adanya
ReplyDeleteInsyaallah point2 ceritanya jd sebuah do'a Mb.
ReplyDeleteIzin nempel blognya di blogs.jashtis.org